Rasulullah SAW yang saat itu tengah berjalan hendak melaksanakan Sholat Idul Fitri melihat sang anak tersebut. Baginda Nabi kemudian bergegas menghampir sang anak tersebut.
Nak, mengapa kau menangis?
Kau tidak bermain bersama mereka?
Rasulullah membuka percakapan.
Anak kecil yang tidak mengenali bahwa orang dewasa di hadapannya adalah Rasulullah lantas menjawab, “Paman, ayahku telah wafat. Ia mengikuti Rasulullah menghadapi musuh di sebuah pertempuran. Tetapi ia gugur dalam medan perang sersebutnya”.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terus mengikuti cerita anak yang murung tersebut. Sambil meraba ke mana ujung cerita, Nabi mendengarkan dengan seksama rangkaian peristiwa dan nasib malang yang menimpa anak tersebut.
“Ibuku menikah lagi. Ia memakan warisanku, peninggalan ayah. Sedangkan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tak memiliki apa pun. Makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal.
Aku bukan siapa-siapa. Tetapi hari ini, aku melihat teman-teman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka. Dan perasaanku dikuasai oleh nasib kehampaan tanpa ayah. Untuk itulah aku menangis.”
Mendengar penuturan ini, batin Rasulullah terenyuh. Ternyata ada anak-anak yatim dari sahabat yang gugur membela agama dan Rasulnya di medan perang mengalami nasib malang begini.
Rasulullah segera menguasai diri. Rasul yang duduk berhadapan dengan anak ini segera menggenggam lengannya.
“Nak, dengarkan baik-baik. Apakah kau sudi bila aku menjadi ayah, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?” tanya Rasulullah.
Mendengar tawaran itu, anak ini mengerti seketika bahwa orang dewasa di hadapannya tidak lain adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. “Kenapa tak sudi, ya Rasulullah?” jawab anak ini dengan senyum terbuka.
Respons Rasulullah
Rasulullah kemudian membawa anak angkatnya pulang ke rumah. Di sana anak ini diberikan pakaian terbaik. Ia dipersilakan makan hingga kenyang. Penampilannya diperhatikan lalu diberikan wangi-wangian.
Setelah beres semuanya, ia pun keluar dari rumah Rasulullah dengan senyum dan wajah bahagia. Melihat perubahan drastis pada anak ini, para sahabatnya bertanya.
“Sebelum ini kau menangis. Tetapi kini kau tampak sangat gembira?” “Benar sahabatku. Tadinya aku lapar, tetapi lihatlah, sekarang tidak lagi. Aku sudah kenyang. Dulunya aku memang tidak berpakaian, tetapi kini lihatlah.
Sekarang aku mengenakan pakaian bagus. Dulu memang aku ini yatim, tetapi sekarang aku memiliki keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah SAW ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah adalah saudariku. Apakah aku tidak bahagia?.”
Mendengar penuturan sahabatnya, mereka tampak menginginkan nasib serupa. “Aduh, cobalah ayah kita juga gugur pada peperangan itu sehingga kita juga diangkat sebagai anak oleh Rasulullah SAW.”
Waktu terus berjalan. Usia semakin bertambah. Kebahagiaan anak ini pun lenyap ketika selang beberapa tahun setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia.
Meratapi kepergian ayah angkat paling mulia ini, ia keluar rumah seraya menaburkan debu di atas kepalanya. “Celaka, sungguh celaka. Kini aku kembali terasing. Aku bukan siapa-siapa lagi. Aku kini menjadi yatim. Sepi,” katanya terisak.
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq yang menyaksikan anak ini segera memeluknya. Sayyidina Abu Bakar kemudian mengambil alih pengasuhannya.
Kisah ini disadur dari NU Online yang mengutip dari Durratun Nashihin karya Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir Al-Khubawi.
Rasulullah dan Baju Baru
Lebaran Idul Fitri menjadi momen istimewa bagi kaum muslimin. Sejumlah persiapan dilakukan demi menyambut hari penuh kemenangan tersebut, mulai dengan menyajikan hidangan makanan yang lezat, membersihkan rumah, hingga membeli pakaian baru.
Baju anyar lebaran khususnya pada Hari Raya Idul Fitri sudah seperti keharusan yang wajib dimiliki. Lantas apakah keharusan pakaian baru saat Idul Fitri juga dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat?
“Memang diimbau kita keluarga untuk menyenangkan keluarganya di hari raya itu. Apakah dengan makan enak, baju bagus, itu sunah. Dengan catatan tidak boleh melakukan sunah dengan cara yang haram, mencuri, mengambil harta orang lain, dan sebagainya,” pungkasnya.
Posting Komentar untuk "Kisah Rasulullah Bertemu Anak Yatim Menangis "