Demokrasi Indonesia Berduka

 

Oleh : Sulthani

Pembina Institut Hukum Indonesia (IHI). 

Calon Dosen FH UMI.

Pengadilan Negeri Ambon (5/3) Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1:3 UUD 1945). Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD (Pasal 2:1 UUD 1945),/.

 Tetapi kini konstitusi dan regulasi tidak untuk ditaati oleh pemilik nafsu berkuasa  dan oknum poli-tikus. Hukum hanya diperintahkan untuk ditaati oleh rakyat.

 Bagi penguasa, pejabat penghianat konstitusi seenaknya merubah norma hukum untuk kepentingan subjektif agar si Anu memenuhi syarat menjadi caWaPres meski dengan cara "haram" kemudian "dihalalkan".

Berbagai kecurangan pemilu/pilpres dengan kasat mata dipertontonkan kepada rakyat, sehingga amat layak dikatakan demokrasi Indonesia sedang berduka.  Sejarah demokrasi tidaklah muda. 

Tetapi rakyat tetap saja tidak bisa berdemokrasi dengan baik, terutama diduga pada rezim Jokowi di Indonesia, demokrasi telah "mati". Demokrasi lahir ditengah “kekerasan” terhadap manusia, karena pemerintah tidak menata dengan baik hukum pemilu.

 Seolah sengaja membuat regulasi yang memberi ruang kejahatan/kecurangan, dan anehnya aparat penegak hukum, aparat keamanan diduga menjadi bagian kejahatan politik, sehingga rakyat idealis tidak berdaya menyampaikan kritik. 

Seolah tidak ada hukum yang mengatur dan patut ditaati. Keadaan negara bagai rimba, siapa kuat dia berkuasa (homo homoni lupus).

Ketimpangan sosial diantara manusia satu sama lainnya, tidak terhindarkan. Momen pemilu kita menyaksikan, siapa yang lihai berbuat jahat terhadap sesama kontestan.

 Siapa lihai berbuat curang mendapatkan suara politik meski dugaan dengan cara penggelembungan suara melalui sistem SIREKAP. Angka rekap pilpres stagnan pada posisi yang dikehendaki pengendali sistem. 

Tiba-tiba ada partai politik diduga dikondisikan sejak awal lolos parlemen tereshold, caleg pemula tidak punya latar belakang politik, bisa mendapat suara terbanyak.

 Perang dingin kapitalisme dalam politik dengan sosialisme yang merujuk pada pola pengaturan kehendak manusia termasuk doktrin terhadap ideologi makin menguat dan tidak beretika.

 Ditengah kemelut carut marut indikasi kecurangan penyelenggara pemilu dan penguasa yang semaunya membagi bansos saat jelang pemilu yang diduga pula tidak berdasarkan data yang berhak menerima bansos, sesungguhnya adalah bahagian kebijakan koruptif.

Akibat pemilu/pilpres tidak jujur dan adil maka nampaknya yang diusahakan sekarang adalah kompromi dengan berbagai pihak yang berjuang menegakkan pemilu demokratis. 

Ironinya karena wakil rakyat sebagai refresentasi partai politik tidak satu suara untuk mengusut kejahatan pemilu melalui hak angket DPR RI. 

Fenomena demikian, tidak heran jika hadir suara rakyat untuk menggugat DPR RI lebih baik dibubarkan. Dan lebih baik tidak ada pemilu di Indonesia, karena hanya membuang uang rakyat, tidak bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Pemilu hanya makin mensejahterakan oknum "poli-tikus". 

Kondisi politik dan demokrasi Indonesia yang rusak parah butuh solusi cerdas dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, terutama Kaun akademisi untuk memberikan solusi   untuk memutus mata rantai kecurangan pemilu/pilpres. 

Jika tidak maka mungkin saja demokrasi menjadi pilihan—dari sosialisme yang mengagungkan persamaan hak, serta perjuangan menuju masyarakat egaliter (masyarakat persamaan) hanya  sekedar retorika normatif.

Sementara kapitalisme tetap menjunjung power market (kekuatan pasar) yakni uang dan pasar.

Sosialisme di belahan timur dan kapitalisme di barat—dalam pertarungan ideologi nyaris memetakan manusia pada pilihan-pilihan politiknya.

 Sosialisme, hak-hak produksi yang setara di mata negara (egalitarian), sementara kapitalisme lebih pada prestise pada uang dan kebutuhan pasar.

Kapitalisme akhirnya menciptakan jurang pemisah yang tajam antara si miskin dengan si kaya, antara penguasa dengan rakyat jelata, antara pengusaha dengan buruh.

 Disparitas/dikotomi sosial sedemikian itu, tentu bukan tujuan berbangsa dan bernegara, bukan pula harapan para pejuang kemerdekaan RI. Karena harapannya adalah proses demokrasi yang dikehendakinya tentu yang sesuai nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.

Adalah Alvin Toffler seorang penulis buku tentang kejutan dengan tiga gelombang pemikirannya ; Gelombang agraris, gelombang industri, dan gelombang informasi. Namun yang menarik dari karyanya yang cukup mengejutkan yakni “Pergeseran kekuasaan”.

 Pergeseran kekuasaan adalah pola-pola bergeraknya kekuasaan dari pola-pola otoritarian ke arah peradaban milenium yang disebutnya sebagai demokrasi.

Bagi Toffler, demokrasi menjadi pilihan dari ketegangan dan kekerasan terhadap dunia. Karena itu harus diakhiri dengan cara menata dunia dengan peradaban yang baik, humanis dan egaliter.

Berkenaan dengan itu, pada sisi yang lain demokrasi adalah sistem pemerintahan lewat perwakilan yang umumnya banyak dijalankan di negara barat.

Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Latin “demos”, yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Sistem ini mensyaratkan adanya pemilihan umum berkala di mana rakyat memilih wakil-wakil mereka. Tapi ada kalanya demokrasi itu berduka dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan diktator.

Sebagai bahan analisis,

Daniel Ziblatt adalah mahaguru sistem pemerintahan di Universitas Harvard di Amerika, yang menerbitkan buku berjudul “How DemocracieDie” atau Mengapa Demokrasi Mati, yang ditulisnya bersama Profesor Steven Levistsky pakar ilmu politik di universitas yang sama.

Kedua tokoh ini mencoba menyuguhkan pikiran-pikiran kritis tanpa pesimisme terhadap demokrasi itu sendiri.

Ziblatt menyebut empat ciri-ciri yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan diktator.

 Ketika membahas bukunya dalam sebuah diskusi di Universitas Harvard, Profesor Ziblatt mengatakan, “Kita melihat dalam kampanye pemilihan presiden, calon presiden partai Republik melancarkan serangan atas media, dan mengancam tidak akan menerima hasil pemilihan umum.

 Ia juga menuduh saingan politiknya sebagai penjahat dan mengancam akan menjebloskannya ke penjara, kalau ia menang (sama statemen oknum FH, politisi yang diduga tidak memiliki perinsip berpolitik yang baik), dan ia juga membiarkan terjadinya aksi-aksi kekerasan.

” Kata Ziblatt, keempat ciri itu bisa dianggap sebagai petunjuk adanya sistem pemerintahan yang otoriter.

Dan tidak seorangpun calon presiden dari partai besar di Amerika yang pernah melakukan hal itu. Karena itu kami ingin melihat negara-negara lain yang pernah mengalami ancaman terhadap sistem demokrasi, dan bagaimana mereka mengatasi krisis itu. Atau bagaimana sistem demokrasi dikalahkan oleh sistem otoriter itu,” ujarnya.

Ketakutan Zilbatt atas beberapa anomali itu justru akan membunuh demokrasi di tengah jalan.

Kata Profesor Ziblatt, masalah yang dihadapi sistem politik di Amerika saat ini bukan hanya disebabkan oleh Donald Trump (sebagai studi analisis) semata.

 “Bukan hanya komentar-komentarnya yang mengejutkan dan berlebihan, dan latar belakang kejiwaan yang tidak biasa dan membingungkan. Tapi kita juga harus sadar bahwa semua itu hanyalah usaha pengalihan perhatian, dan kita harus bisa mempertahankan fokus pada hal-hal yang lebih penting.” Tentunya demi menyelamtkan demokrasi.

Cara terbaik untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter adalah mencegah supaya pemimpin seperti itu jangan mendapat kesempatan untuk berkuasa, kata Ziblatt. 

Ini berarti kita harus menyimak bagaimana Donald Trump terpilih saat itu, dan bagaimana ia bisa menjadi calon dari partai besar. Dalam masa Perang Dingin dulu, 75 persen kegagalan sistem demokrasi di seluruh dunia disebabkan kudeta militer. 

Dan peristiwa politik itu banyak terjadi di belahan negara-negara Amerika Latin yang kita kenal dengan Juntah militer—yaitu militer mengambil kekuasaan tanpa sebab. Apakah Indonesia akan mengalami hal yang sama ?

Tapi sejak runtuhnya sistem pemerintahan komunis, dunia telah berubah, kata Ziblatt. Kebanyakan pemerintahan demokratis dikalahkan lewat pemilihan umum, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politiknya.

 Menawarkan ide-ide tentang perubahan dunia yang lebih baik. Begitu pula yang ditawarkan oleh Alvin Toffler dari beberapa seri pemikirannya.

Namun ditengah tumbuh-kembangnya demokrasi, kaum oportunis  naik ke puncak kekuasaan lewat pemilihan umum, dan kemudian ia akan mulai menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.

Dan fenomena ini terlihat di beberapa negara-negara di dunia bahkan indikasinya termasuk di negara Indonesia, dengan memperhatikan munculnya ketegangaan, kekerasan hingga pada kecurangan-kecurangan pemilihan umum.

Dalam sejarah di catat hingga tahun 1972 calon-calon presiden Amerika dipilih oleh para pemimpin partai, dan peran rakyat boleh dikata tidak penting. Apakah politik di Indonesia layak mengikuti sistem mandat dari partai untuk menjadi wakil rakyat ? Dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden dilakukan oleh wakil rakyat.

 Boleh jadi sistem seperti menjadi solusi pragmatis, sekaligus untuk menghemat APBN. Kecuali jika pemilihan presiden bisa dilakukan secara lebih jujur dan adil, melalui proses pemilihan umum secara terbuka.  

Kesan pemilu kali ini, sepertinya bagai sejarah berulang kembali. Italia tahun 1920-an, Jerman tahun 1930-an, dan Venezuela dalam tahun 1990-an, dan beberapa negara penganut demokrasi lainnya, termasuk negara-negara dunia ketiga (negara berkembang)—dan (mungkin) Indonesia salah satunya, dengan melihat Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang sangat hancur.

 Menurut pengukuran dari EIU ; Indonesia berada di kategori “Flawed Democracy” atau demokrasi terbatas dengan skor total 6,71 dan menempati urutan ke 52 dari total 165 negara di dunia.

Dan sepertinya Alvin Toffler bersepakat dengan Daniel Zilbatt dan Steven Levistsky—tentang ciri-ciri bagaimana demokrasi mati, dibunuh dengan sadis oleh oknum penguasa, pejabat korup dan poli-tikus dengan melakukan  kejahatan politik yakni kecurangan dalam pemilu, kekerasan dan ketegangan rakyat pemilih karena intimidasi oknum aparat keparat.

Mohon maaf atas kekurangan, semoga manfaat membangun peradaban demokrasi Indonesia untuk mewujudkan harapan pejuang kemerdekaan RI dan pejuang reformasi 98.

Posting Komentar untuk "Demokrasi Indonesia Berduka"