Jakarta Media Duta,- SEKELOMPOK purnawirawan TNI sudah mengirim surat kepada lembaga tinggi negara, DPR dan MPR. Sebelumnya, mereka mengirim tuntutan ke Istana Negara.
Salah satunya berisi desakan agar Gibran Rakabuming Raka dilengserkan dari posisi Wakil Presiden. Namun, sebagaimana yang sudah disampaikan, Istana bergeming, karena secara konstitusi, itu bukan wilayah mereka.
Bola panas terkait pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kini bergser ke DPR. Sebagaimana diatur dalam konstitusi, pemakzulan presiden dan wakil presiden adalah proses panjang.
Husen Mony Dosen Bergabung sejak : 27 September 2022 Mengajar Komunikasi Politik & Jurnalistik/Penulis Usulan Pemakzulan Gibran, Suara di DPR, dan Hak Suara Rakyat.
Namun, sebagaimana yang sudah disampaikan, Istana bergeming, karena secara konstitusi, itu bukan wilayah mereka.
Bola panas terkait pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kini bergser ke DPR. Sebagaimana diatur dalam konstitusi, pemakzulan presiden dan wakil presiden adalah proses panjang.
Untuk sampai pada putusan itu, DPR dan MPR harus membuktikan bahwa Gibran, sebagai wakil presiden telah melakukan tindakan yang menjadi syarat pemakzulan, yaitu penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
Artinya, proses untuk sampai kepada putusan pemakzulan Gibran, tidak sesederhana yang dibayangkan.
Segala sesuatu sangat dimungkinkan terjadi, bahkan lebih mungkin dari konsep kemungkinan itu sendiri. Pangkal soalnya karena semua aktor politik bekerja dalam dan untuk kepentingan masing-masing (dirinya, kelompoknya, partainya).
Meski koalisi pendukung Probowo-Gibran mendominasi suara di DPR, bisa saja niatan untuk memakzulkan Gibran tetap diproses.
Realitas suara DPR Keterpilihan Gibran sebagai wakil presiden adalah satu paket dengan presiden, Prabowo Subianto.
Kedua pasangan ini diusung oleh gabungan partai yang terhimpun dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lima partai kemudian lolos ke DPR dengan raihan 280 kursi.
Secara matematika politik, Gibran (dan Prabowo) memiliki dukungan sebanyak 280 suara, pada mulanya. Kemudian, sebagaimana yang sudah kita ketahui, dinamika politik pasca-Pilpres 2024 berubah.
Koalisi mendapatkan tambahan dukungan dari tiga partai politik lain: PKB, Nasdem, dan PKS. Implikasinya dukungan suara di DPR kini menjadi bertambah. Dari yang semula 280 kursi kini menjadi 470 kursi: PKB (68 kursi), Nasdem (69 kursi), dan PKS (53 kursi).
Koalisi Indonesia Maju atau KIM kini telah menjadi KIM Plus. Secara faktual, Gibran didukung oleh 470 suara di DPR. Jika memakai aliran positivisme, tentu proses politik di DPR akan mengalami jalan buntu.
Surat permohonan pemakzulan Gibran yang dilayangkan oleh sekelompok purnawirawan TNI tersebut di atas kertas hanya mungkin mendapatkan dukungan dari 110 suara yang dimiliki PDI Perjuangan.
Itu pun, jika melihat narasi Said Abdullah, Ketua DPP PDI Perjuangan, para pengusul sudah pasti akan mengalami kekecewaan.
Semua pihak diharapkan taat konstitusi. Urusan DPR tidak hanya terkait isu politik saja, masih banyak agenda lain yang menjadi tantangan ke depan.
Bersamaan dengan narasi dari PDI Perjuangan, narasi partai-partai lain di DPR, sampai sejauh ini juga masih normatif – bahkan terkesan meragukan dasar pemakzulan Gibran itu.
Meski demikian, membaca realitas politik tidak bisa hanya memakai lensa hitam putih. Seolah apa yang disampaikan itulah tindakan nyata yang akan mereka kerjakan.
Pada panggung depan, narasi aktor politik kerap kali sarat akan strategi “menyesuaikan arah hembusan angin” (baca: opini publik). Jika saat ini isu pemakzulan tidak terlalu kuat hembusannya, maka narasi di depan disesuaikan.
Masalahnya, isi hati, isi pikiran, serta keinginan politisi yang sebenarnya tersimpan di panggung belakang dan hanya akan ternarasikan dengan kencang ke luar, lagi-lagi mengikuti arah angin berhembus.
Ketika itu, boleh jadi usulan pemakzulan ditindaklanjuti. Di atas kertas, pemakzulan seolah merupakan wilayah yang menjadi domain hukum. Namun, kenyataannya justru politiklah yang paling sering menentukan.
Persyaratan pemakzulan sebagaimana diatur dalam Pasal 7a konstitusi kita, bisa saja dianggap terpenuhi tergantung kekuatan argumentasi politisi dalam melakukan penafsiran dan konseptualisasi terhadap persyaratan itu.
Apalagi, hembusan angin kencang memberikan tekanan politik kepada mereka, atau searah dengan pandangan dan keinginan terdalam mereka.
Dalam buku Impeachment: What Everyone Needs to Know, Michael J. Gerhardt (2018) mengungkapkan bahwa seringkali persepsi masyarakat dan bagaimana isu pemakzulan ini diterima oleh publik juga memainkan peran besar.
Opini publik dapat memberikan tekanan signifikan pada anggota legislatif untuk bertindak atau tidak bertindak atasnya.
Alasan pemakzulan Apapun, niatan pemakzulan yang sekarang sedang didorong oleh segelintir pihak tertentu, adalah tidak tepat. Dengan menjadikan demokrasi sebagai kuda troya, pandangan mereka terkait pemakzulan Gibran dipandang sebagai hak setiap warga negara.
Masalahnya, tidak ada kondisi-kondisi yang menjadi syarat pemakzulan tersebut, ada dan telah dilakukan oleh Gibran. Empat argumentasi yang menjadi alasan permintaan pemakzulan tersebut, tidak memiliki basis aktualitas, apalagi aktualitas.
Berlalu Kasus “fufufafa”, dugaan korupsi Gibran-Kaesang yang dilaporkan Ubaidillah ke KPK, putusan MK, dan asumsi bahwa Gibran tidak punya kapasitas, sesungguhnya tidak punya basis legitimasi faktual. Argumentasi demikian seharusnya sudah gugur karena beberapa alasan.(*)
Posting Komentar untuk "Kelompok Purnawirawan Bersurat ke DPR dan MPR Minta Wapres Presiden Gibran di Pemakzulan "