Kisah WNI Haji dari Luar Negeri Niat Mau Umrah Malah Ditawari Naik Haji Tanpa Antre dari Belanda


Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Layanan Khusus Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin (kiri) saat menjalani ibadah haji pada 2015. (Foto: Dok. Pribadi)

Jakarta  Media Duta,- Tak ada manasik, tak ada antrean 30 tahun, dan tak juga perlu ribet soal administrasi. Bagi Tatang Muttaqin, pengalaman menunaikan ibadah haji dari Belanda adalah salah satu keputusan paling tak terduga dalam hidupnya-dan itu semua dimulai dari rencana... umrah.

"Saya itu tadinya cuma mau umrah. Karena kok ya saya udah lima tahun di Eropa, ke mana-mana udah, tapi belum juga ke Tanah Suci," kata Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Layanan Khusus Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin, saat ditemui detikHikmah di kantornya, Senin (2/6/2025).
Kala itu, ia tengah menempuh studi S3 Sosiologi di University of Groningen, Belanda, ditemani istri dan tiga anak. Liburan ke berbagai negara Eropa sudah dijajal, tapi ada satu hal yang mengganjal: umrah belum juga terlaksana.

Dari Rencana Umrah ke Panggilan Haji
Cerita berubah saat ia mencari paket umrah dan malah ditawari haji oleh biro perjalanan milik komunitas Turki, Milli Gorus. Peristiwa itu terjadi pada 2015.

"Saya daftar, bayar sekitar €1.250 untuk umrah. Tapi mereka malah tanya, 'Anda belum berhaji yang wajib, kami masih punya slot untuk jemaah haji, mau ikut'?" kenangnya.

Tatang sempat ragu, mengingat di Indonesia antrean haji bisa belasan hingga puluhan tahun. "Saya bilang, 'Haji kan ngantri', mereka jawab, 'Di sini nggak ada antrean. Daftar hari ini, bisa berangkat musim haji nanti'."

Ia pun akhirnya menyetor uang muka sekitar €2.000, lalu dilunasi setelah Lebaran. Total biaya haji saat itu sekitar €2.400 atau sekitar Rp 45 juta. Lebih mahal dari haji reguler di Indonesia, tapi tanpa subsidi dan jauh lebih simpel.

"Saya nggak kasih tahu siapa-siapa, takut batal. Saya biasa jadi khotib di sana, malu kalau udah bilang berangkat tapi batal. Jadi ya... saya pergi diam-diam," ujarnya, tertawa.

Anak Dititip, Dua Pekan Menjalani Rukun
Tatang  dan istri akhirnya berangkat selama dua minggu. Ketiga anak mereka dititipkan ke kenalan, seorang ibu Indonesia yang bersuamikan orang Belanda.

"Kita sempat bingung, mau minta tolong orang tua tapi kan nggak bisa bahasa Belanda. Akhirnya kita titipkan ke teman yang biasa jagain anak-anak lain juga," kata Tatang.

Di Belanda, sistem sosial memungkinkan warga ikut program mandatory volunteer, termasuk membantu komunitas atau saling menjaga anak. "Nggak enak juga kalau minta tolong guru, kan gurunya orang Belanda semua," ujarnya.

Berhaji Bareng Komunitas Turki
Tatang berangkat bersama komunitas muslim Turki di Belanda. Sekitar 80-100 jemaah dari Belanda ikut dalam kloter yang dikelola jaringan biro perjalanan besar asal Turki.

"Mereka punya hotel, pesawat sendiri, bahkan jaringan ke Australia, Amerika, dan Inggris," kata Tatang.

Selama di Tanah Suci, ia menginap di Aziziyah, tak jauh berbeda dari jemaah haji reguler Indonesia. Namun ada perbedaan mencolok: tidak ada istilah Haji Plus.

"Semua sama. Mau 2 minggu atau 4 minggu, harganya sama," ujarnya.
Meskipun semua layanan lancar, kendala bahasa jadi tantangan tersendiri. "Ceramahnya pakai bahasa Turki. Ya udah, saya dengerin sebisanya," katanya sambil tersenyum.

Tanpa Manasik, Hanya Mengikuti Alur
Tidak ada manasik, tidak ada rombongan Indonesia. Lalu, bagaimana menjalankan rukun haji?

"Saya ikut aja alurnya. Kalau ketinggalan rombongan, ya gabung sama rombongan lain. Ibadah haji kan banyaknya ibadah fisik. Yang penting kuat jalan," ujarnya santai.

Meski begitu, ada pembimbing dua orang yang mendampingi selama ibadah. Namun, Tatang mengaku sebagian besar waktu ia menjalani haji dengan intuisi dan mengikuti jemaah lain.

"Bismillah aja. Yang penting niat," ucapnya mantap.Kini, satu dekade berlalu sejak keberangkatan haji dari Belanda itu. Tatang merasa cukup.

"Saya pikir ya sekali seumur hidup aja. Yang lain masih banyak yang ngantri. Di Indonesia saya udah hopeless, daftar di Depok 30 tahun. Berarti berangkat umur 65, itu juga belum tentu," ujarnya.

Bagi Tatang, berhaji dari luar negeri bukan soal kemewahan atau eksklusivitas. Tapi peluang yang terbuka lebar-dan dia tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Yang penting kita siap. Fisik, niat, dan tanggung jawab. Karena panggilan itu bisa datang kapan aja," tutupnya.
(hnh/kri

Posting Komentar untuk "Kisah WNI Haji dari Luar Negeri Niat Mau Umrah Malah Ditawari Naik Haji Tanpa Antre dari Belanda"