JAKARTA – Rabu, 12 Juni 1946. Pasangan Yakub Hadisiswoyo dan Sukiyah asal Desa Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menanti kelahiran buah hati ketiga mereka. Menurut penanggalan Jawa, hari itu Rabu Kliwon. Layaknya warga desa, proses persalinan akan lazimnya dukun.
kelahiran semakin dekat. Sayangnya, dukun belum datang. Walhasil, jabang bayi lebih dulu lahir. Untung orok merah itu lahir selamat meski usus melilit di lehernya.
Menurut kepercayaan, bayi yang lahir dengan usus membelit leher menunjukkan pertanda kemujuran hidup. Konon, bayi itu juga akan terlihat tampan.
“Bayi laki-laki dengan bobot cukup besar itu diberi nama Subagyo. Su berarti lebih dan Bagyo artinya bahagia. Dari namanya terkandung harapan agar bayi kelak hidup lebih bahagia daripada orangtuanya,” tulis Carmelia Sukmawati dalam buku ‘Subagyo HS, KASAD dari Piyungan’, dikutip Senin (26/5/2025).
Masuk Akmil
Meniti karier sebagai tentara menjadi cita-cita Subagyo sejak kecil. Tak heran usai tamat pendidikan menengah, dia bulat mendaftar ke Akademi Militer.
Alasan Bagyo menjadi prajurit TNI sangat sederhana.
Pertama, masuk sekolah tentara tidak perlu membayar. Sebaliknya, siswa malah mendapat uang saku.
“Kedua, setelah lulus bisa langsung mendapat pekerjaan.” Begitu tertulis dalam buku ‘Jenderal TNI Subagyo HS: KASAD di Bawah Tiga Presiden’ yang disusun tim Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat.
Terdapat cerita menarik seputar keinginan Subagyo menjadi tentara. Semula remaja lulusan SMA BOPKRI 1 Yogyakarta itu berniat masuk Akademi Angkatan Laut (AAL) dan Akademi Angkatan Udara (AAU). Tapi, ayahnya ternyata tidak setuju jika putranya gabung AL. Kenapa?
Rupanya Yakub khawatir jika suatu saat Bagyo lulus dan bertugas di kapal, dia tidak akan bisa salat dengan benar.
Pikirnya, kapal tidak selalu berlayar ke barat sehingga orang tidak akan bisa salat menghadap kiblat.
Karena awam, Yakub tidak paham ada kompas yang bisa menunjukkan arah. Alasan lainnya, dia khawatir Bagyo susah pulang ketika orang rumah membutuhkan karena kapal laut memakan waktu lama dalam perjalanan.
Subagyo akhirnya mendaftar sebagai taruna Akmil. Jalan hidup membawa remaja berbadan tegap ini lolos sebagai taruna.
Dia diterima berdasarkan Surat Keputusan Menteri Utama Bidang Pertahanan No. Kep-08/I/1967. Setelah itu, dimulailah hari-hari keras nan melelahkan di Lembah Tidar, kawah candradimuka bagi taruna Angkatan Darat.
Prajurit Baret Merah Pengawal Soeharto
Lulus Akmil 1970, Subagyo selanjutnya ditempa di pasukan elite Baret Merah yang ketika itu masih bernama Komando Pasukan Sandhi Yudha atau Kopassandha (kini Kopassus). Berbagai penugasan dan jabatan pernah disandangnya.
Pria berzodiak Gemini ini antara lain pernah menyandang status komandan peleton 1 Kompi 2 Parako Grup 2 Kopassandha hingga komandan detasemen tempur 13 Grup 1 Kopassandha (saat berpangkat letkol).
Berbagai operasi tempur pernah dijalani. Namun paling monumental ketika terpilih sebagai prajurit yang ditugaskan dalam Operasi Woyla, sebuah operasi militer untuk membebaskan penumpang pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 yang dibajak kelompok teroris Komando Jihad pada 28 Maret 1981.
“Tiga perwira menengah dari Mako Kopassandha yaitu Letkol Sintong Panjaitan sebagai komandan tim antiteror, Mayor Sunarto dan Mayor Isnoor.
Tiga orang dari Grup 1/Parako yaitu Mayor Subagyo HS dan dua lainnya,” kata Hendro Subroto dalam ‘Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’.
Operasi itu sukses besar. Nama Kopassus pun harum di dunia. Imbasnya, Subgyo turut menjadi bagian dari tim yang menerima kenaikan pangkat istimewa dari keberhasilan tersebut.
Namun tak selamanya karier berjalan sesuai keinginan. Pada 1986, dia dimutasi sebagai Dansatpam Pasukan Pengawal Presiden.
Pria berkumis lebat itu kecewa. Subagyo bahkan menemui Sintong dan mengungkapkan isi hatinya. Namun Sintong menekankan, mutasi tersebut atas permintaan presiden.
Bagyo tak bisa berkomentar. Kelak, penugasan ini justru memberikan pengalaman berharga baginya. Dari pasukan tempur, dia berada di Ring 1 Presiden Soeharto, sebuah tempat yang tak sembarang orang bisa memasukinya.
Jenderal Kopassus Melesat Jadi KSAD
Kepercayaan masyarakat tentang nasib mujur pada bayi lahir terlilit usus agaknya terjadi pula pada Subagyo.
Serdadu yang turut perang dalam Operasi Seroja itu resmi pecah bintang pada Mei 1994. Di angkatannya, dia orang pertama menyandang pangkat brigadir jenderal.
Hari demi hari berlalu. Ragam tugas dijalani. Tapi lembar baru dalam kariernya terjadi. Masih di tahun sama, mutasi di tubuh ABRI kembali bergulir.
Subagyo didapuk sebagai orang nomor 1 pasukan elite Baret Merah alias Komandan Jenderal Kopassus.
Penunjukan ini mengagetkan banyak orang. Maklum, selain lama telah meninggalkan korps tesebut, nama jenderal berjuluk Bimo ini terhitung tak masuk bursa.
Beberapa nama yang sempat digadang-gadang bakal menjabat posisi puncak pasukan berseragam loreng darah mengalir itu antara lain Asisten Operasi Kopassus Brigjen TNI Luhut Binsar Pandjaitan.
Faktanya, karier Bagyo terus bersinar terang. Dia menjadi jenderal paling dihormati dengan statusnya sebagai pemegang tongkat komando tertinggi.
Berbagai kebijakan dan inovasi organisasi dilakukan selama berada di posisi itu.
Dalam perjalanannya, tentara berkumis lebat ini sukses mengoleksi empat bintang emas di pundak alias menjadi jenderal penuh.
Subagyo juga melesat menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat alias KSAD pada kurun 16 Februari 1998-20 November 1999. Sampai purnatugas, sosoknya tetap menjadi panutan.
“Saat Pak Bagyo Komandan Kopassus, saya ditarik menjadi wakil beliau sebagai wakil komandan kopassus. Itu promosi yang membanggakan bagi saya.
Melalui pasang surut perjalanan karier Pak Bagyo, ia selalu membela anak buahnya,” kata Presiden RI Prabowo Subianto dalam bukunya ‘Kepemimpinan Militer, Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto”.
(Zen Teguh)
Posting Komentar untuk "Lahir Terlilit Usus, Menjelma Jadi Jenderal Kopassus Paling Dihormati"