Dijual cepat Rumah/tanah dengan seluas 336 M2 sertipikat Hak Milik Alamat Jalan Dr Ratulangi No. 3, E. Yang berminat dapat menghubungi Samsons Supeno HP 0812 5627 7440- 085 336 244 337 ttd Samson Supeno

SANG PENAKLUK YANG MENANGIS DI ATAS RANJANG

Khalid bin Walid, seorang panglima besar Islam, dikenal dalam sejarah sebagai “Saifullah al-Maslul,” pedang Allah yang terhunus.

Gelar agung itu diberikan langsung oleh Rasulullah ๏ทบ, sebagai bentuk penghormatan atas keberanian, kehebatan, dan keteguhan hatinya di medan perang.

Khalid bin Walid lahir di Makkah dari keluarga Bani Makhzum, salah satu kabilah Quraisy yang paling terhormat dan terpandang. Sejak muda, ia telah dikenal sebagai seorang ahli strategi dan pemimpin perang yang tangguh. Ketika kaum Quraisy memerangi Rasulullah ๏ทบ, Khalid berada di barisan musuh.

Dalam Perang Uhud, dialah yang memainkan peran besar dalam membalikkan keadaan — membawa kemenangan sementara bagi Quraisy dan menyebabkan luka mendalam di pihak kaum Muslimin.

Namun, di balik semua itu, Allah telah menulis kisah lain untuk dirinya.

Seiring waktu, cahaya kebenaran mulai menembus hatinya. Khalid menyaksikan keteguhan umat Islam yang tak pernah surut meski terus ditindas dan diperangi.

 Ia melihat bahwa kekuatan mereka bukan berasal dari jumlah atau senjata, melainkan dari keyakinan dan keikhlasan yang tak tergoyahkan.

Pada tahun 629 M, tepat sebelum Perjanjian Hudaibiyah, Khalid bin Walid memutuskan untuk meninggalkan jalan kekufuran dan menuju cahaya Islam. 

Bersama Amr bin al-‘Ash dan Utsman bin Thalhah, ia berangkat menuju Madinah untuk menemui Rasulullah ๏ทบ dan mengikrarkan syahadat.

Rasulullah menyambutnya dengan senyum penuh kasih dan memberi kabar gembira,

“Khalid, aku tahu — engkau memiliki akal yang cerdas. Aku selalu berharap kecerdasan itu akan membawamu kepada kebenaran.”

Sejak hari itu, pedang yang dahulu terhunus untuk melawan Islam, kini diangkat untuk membelanya.

Setelah masuk Islam, Khalid bin Walid menjadi sosok yang tak terkalahkan di medan jihad. Salah satu peristiwa paling agung dalam sejarah kepemimpinannya adalah Perang Mu’tah, ketika pasukan Muslim yang hanya berjumlah 3.000 orang berhadapan dengan kekuatan Romawi Timur yang mencapai 200.000 prajurit.

Tiga panglima sebelumnya gugur satu per satu: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.

Ketika panji itu jatuh, Khalid mengambilnya dengan tekad membara. Dengan kecerdikan dan keberanian luar biasa, ia memimpin pasukan keluar dari kepungan musuh tanpa kehilangan kehormatan.

Karena strategi itulah, Rasulullah ๏ทบ memberi gelar kepadanya,

“Saifullah al-Maslul” — Pedang Allah yang terhunus.

Sejak saat itu, namanya menjadi simbol kemenangan. Ia menaklukkan banyak negeri: dari Jazirah Arab hingga Syam, dari Persia hingga Romawi Timur. 

Di setiap pertempuran, kecerdasan taktiknya selalu bersanding dengan ketakwaannya. Ia bukan hanya panglima, tapi juga seorang hamba yang tunduk sepenuhnya kepada Allah.

Namun, di balik semua kejayaan itu, Khalid tetap rendah hati. Ketika Khalifah Umar bin Khattab mencopotnya dari jabatan panglima besar, ia menerimanya dengan penuh kerelaan. Tak ada dendam, tak ada kecewa.

Ia berkata,

“Aku berperang bukan karena Umar memerintahkanku, tapi karena Allah.”

Khalid bin Walid wafat pada tahun 642 M di Homs, Suriah — bukan di medan perang seperti yang ia harapkan. Di atas ranjang kematiannya, ia menatap tubuhnya yang penuh luka, bekas lebih dari seratus pertempuran, lalu berkata dengan nada lirih,

“Aku telah bertempur di lebih dari seratus pertempuran, namun kini aku mati di atas tempat tidurku... Tidak ada lagi orang pengecut setelah aku.”

Demikianlah akhir hidup Sang Pedang Allah — seorang pejuang yang mengorbankan segalanya demi agama ini.

Khalid bin Walid menjadi simbol keberanian, keteguhan, dan keimanan yang luar biasa — teladan bagi setiap mukmin yang berjuang di jalan Allah, hingga akhir hayatnya.

Posting Komentar untuk "SANG PENAKLUK YANG MENANGIS DI ATAS RANJANG"