Indonesia dinilai sedang berada pada fase genting yang mengarah pada krisis nasional terbuka.
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyampaikan peringatan serius kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa ancaman terbesar bagi kepemimpinannya justru berasal dari dalam lingkar kekuasaan sendiri, bukan dari tekanan eksternal.
Menurut KAMI, stabilitas yang tampak di permukaan tidak cukup untuk menopang legitimasi pemerintahan. Dalam kajian politik, kekuatan sebuah negara diukur dari tujuh kapabilitas utama.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjelaskan bahwa ketujuh indikator tersebut menunjukkan gejala pelemahan serius.
Kapabilitas responsif dianggap lumpuh karena suara rakyat tidak sungguh-sungguh diakomodasi. Kapabilitas regulatif melemah ketika hukum dan kedaulatan dinilai tunduk pada kepentingan oligarki.
Ketimpangan sosial menjadi cermin rapuhnya kapabilitas distribusi dan alokasi kesejahteraan.
Sementara itu, kapabilitas simbolik ikut merosot akibat menurunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.
Kapabilitas ekstraktif dipandang tidak berpihak pada kepentingan rakyat karena pengelolaan sumber daya alam dan manusia lebih menguntungkan segelintir elite.
Di sisi lain, kapabilitas domestik melemah saat partai politik dinilai abai terhadap penderitaan rakyat akibat bencana, dan kapabilitas internasional dinilai berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Gatot menegaskan bahwa ancaman terbesar bagi presiden bukan sekadar kritik publik, melainkan sabotase struktural dari para pembantu kekuasaan yang memperlambat, memelintir, bahkan menggagalkan kebijakan presiden di tingkat teknis.
Kepentingan oligarki kerap disamarkan sebagai kepentingan negara.
Ia mengingatkan, sejarah mencatat banyak pemimpin jatuh bukan karena kebijakan yang salah, melainkan karena kebijakan tersebut sengaja dibuat gagal oleh orang-orang di sekitarnya.
Jika warisan kekuasaan lama tidak diputus, krisis legitimasi dinilai tak terelakkan.
Seruan pun disampaikan kepada seluruh elemen masyarakat—dari emak-emak hingga generasi muda—untuk waspada.
Jika hukum terus dipermainkan, reformasi aparat dibelokkan, kejahatan ekologi dan ekonomi dibiarkan, serta masa depan generasi muda dikorbankan, maka Indonesia dinilai sedang melaju menuju krisis nasional terbuka.
Pernyataan ini, tegas Gatot, bukan ancaman atau hasutan, melainkan peringatan keras. Negara tidak akan diselamatkan oleh pencitraan dan propaganda, tetapi oleh keberanian memutus mata rantai kekuasaan yang keliru, menegakkan hukum secara adil, dan mengembalikan negara kepada kepentingan rakyat.
Mengutip pandangan Rocky Gerung, Gatot menekankan bahwa presiden harus berpihak pada akal sehat. Presiden Prabowo Subianto kini berada di persimpangan sejarah:
menjadi pemimpin korektif yang memulihkan republik, atau tenggelam bersama krisis yang membesar.
“Sejarah tidak menunggu kesiapan penguasa. Sejarah hanya mencatat siapa yang berani bertindak saat bangsa berada di tepi jurang,” tutupnya dengan seruan, Merdeka.
Sumber: suaradotcom.
Analisis
Pernyataan KAMI dan Gatot Nurmantyo mencerminkan kritik struktural terhadap tata kelola kekuasaan, bukan sekadar personalisasi pada presiden.
Fokus utama terletak pada bahaya oligarki, lemahnya penegakan hukum, serta kegagalan elite politik dalam merespons penderitaan rakyat.
Narasi ini menempatkan Presiden Prabowo sebagai figur kunci:
apakah mampu melakukan koreksi internal secara tegas atau justru terjebak dalam warisan kekuasaan lama.
Isu legitimasi menjadi sentral, karena krisis politik kerap diawali oleh krisis kepercayaan publik.(*)

Posting Komentar untuk "Masa Depan Republik Tidak Boleh Dikorbankan"