Jakarta Media Duta,-Diskusi mengenai anggaran pendidikan masih hangat untuk dicermati saat ini. Hal itu ditandai dengan semakin melebarnya tema yang menjadi bahasan.
Bagaimana memperoleh informasi dari APBN terkait alokasi anggaran pendidikan serta ke mana saja anggaran tersebut dibelanjakan.
Di dalam APBN, terdapat beberapa klasifikasi yang digunakan untuk menyajikan informasi dalam APBN. Ketiga klasifikasi tersebut adalah klasifikasi berdasarkan organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Penggunaan klasifikasi yang berbeda dapat menghasilkan besaran rupiah yang berbeda serta informasi yang berbeda.
Khusus berkaitan dengan tema anggaran pendidikan maka klasifikasi organisasi dan klasifikasi berdasarkan fungsi dapat dipakai untuk menggambarkan informasi berkaitan dengan alokasi anggaran yang diberikan.
Namun apabila ingin menyoroti mengenai alokasi anggaran pendidikan secara keseluruhan maka penggunaan klasifikasi fungsi lebih tepat dibandingkan dengan penggunaan klasifikasi organisasi.
Jika merujuk pada UUD 45 pasal 31 (4) dinyatakan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam praktiknya, penentuan alokasi 20% tersebut langsung dihitung dari besaran belanja APBN. Sehingga apabila dalam tahapan penyusunan rencana anggaran telah diketahui belanja secara keseluruhan maka besaran anggaran pendidikan secara otomatis langsung dapat diketahui dari hasil kalkulasi matematis.
Sebagai contoh pada APBN tahun 2024, ketika belanja negara direncanakan sebesar Rp3.325,1 triliun maka alokasi anggaran untuk pendidikan dapat dipastikan sebesar 20% dari belanja yaitu Rp665,02 triliun. Angka Rp665,02 triliun ini bukan anggaran untuk satu kementerian semata, namun dibagi untuk semua unit yang memiliki tugas berupa layanan pendidikan.
Adanya mandatory spending pada APBN baik berupa persentase maupun tanpa persentase menjadi sebuah tantangan dalam penyusunan APBN.
Pada mandatory spending tanpa adanya proporsi tertentu maka besaran anggaran yang dialokasikan dapat terus mengecil seiring dengan bertambahnya belanja APBN.
Namun pada mandatory spending dengan syarat wajib berupa persentase terhadap APBN maka besaran yang dialokasikan akan terus meningkat seiring peningkatan APBN. Terdapat dua mandatory spending yang mematok besaran dengan persentase, yaitu anggaran untuk pendidikan serta anggaran untuk kesehatan.
Tantangan yang dihadapi dalam penyusunan anggaran adalah bagaimana memastikan bahwa semua mandatory spending memperoleh pendanaan yang cukup.
Kesalahan atau kekurangan dalam memberikan alokasi sesuai aturan perundang-undangan dapat membuka ruang terjadinya gugatan atas UU APBN yang ditetapkan.
Selesai dalam pengalokasian anggaran pada belanja-belanja yang wajib mendapatkan pendanaan maka isu selanjutnya adalah siapa yang akan mengeksekusi belanja tersebut. Dalam struktur APBN, belanja negara terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu belanja pemerintah pusat (BPP) dan transfer ke daerah (TKD).
Alokasi 20% anggaran pendidikan yang ada di dalam APBN bukan menjadi satu bagian utuh dan menjadi kewenangan penuh pada BPP, namun juga terdistribusikan ke dalam bentuk TKD.
Di lingkup pemerintah pusat pun eksekusi belanja pendidikan tersebar ke berbagai kementerian/lembaga. Selain dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, terdapat beberapa kementerian lain yang memberikan layanan pendidikan seperti pendidikan keagamaan yang dilakukan oleh Kementerian Agama.
Kemudian pendidikan bagi tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan atau pendidikan bagi para awak kapal yang dilakukan oleh berbagai sekolah pelayaran di bawah Kementerian Perhubungan.
Bagaimana dengan urusan layanan pendidikan di daerah? Pascaadanya otonomi daerah, maka sebagian kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke daerah. Untuk urusan pendidikan dasar dan menengah yang tadinya merupakan kewenangan pemerintah pusat beralih menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Perubahan kewenangan ini memberikan dampak berupa beralihnya pendanaan yang tadinya berada di kementerian menjadi bagian dalam belanja transfer ke pemerintah daerah. Belanja transfer ke daerah dari APBN kemudian diterima oleh pemerintah daerah dan dicatat sebagai pendapatan transfer.
Hingga saat ini, porsi pendapatan transfer dari APBN masih menjadi bagian dominan dalam struktur APBD. Secara rata-rata nasional lebih dari 80% dari pendapatan pada APBD berasal dari pendapatan transfer.
Sebagai konsekuensi atas mandatory spending anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah, pemerintah pusat juga mewajibkan adanya alokasi 20% dari APBD untuk membiayai pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Bantuan Operasional Sekolah atau BOS adalah salah satu contoh yang mudah dijumpai dari mandatory spending yang disalurkan melalui TKD.
Pada tingkat daerah, anggaran pendidikan yang dialokasikan secara nominal akan berbeda-beda meskipun secara persentase akan berada pada angka minimal 20% dari APBD.
Bagi daerah yang secara fiskal cukup mandiri yang ditandai dengan PAD yang signifikan, maka belanja untuk pendidikan akan meningkat. Sedangkan bagi daerah dengan PAD yang minim maka porsi belanja pendidikan tidak akan berbeda jauh dari porsi 20% dana transfer yang diterima pemda.
Selain transfer dari pemerintah pusat ke daerah, terdapat dana transfer lain yang ditujukan bagi pemerintah desa. Pengaturan mengenai mandatory spending dengan besaran alokasi yang cukup signifikan ditujukan bagi pemerintah desa dalam wujud alokasi dana desa.
Pemberian Dana Desa diatur melalui UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Mengapa desa mendapatkan alokasi dana dari belanja transfer serta terdapat alokasi anggaran pendidikan di dalam alokasi dana tersebut?
Pertama, dalam UU tentang Desa, diatur mengenai sumber-sumber pendapatan desa. Salah satunya berasal dari alokasi dana desa.
Kedua dalam penggunaan belanja desa diprioritaskan untuk kebutuhan pembangunan yang terdiri atas kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Penjelasan pada UU tersebut menyebutkan bahwa "kebutuhan primer" adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sedangkan "pelayanan dasar" adalah antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Mengingat bahwa terdapat kewajiban bagi desa dalam penyelenggaraan layanan dasar serta terdapat aliran belanja dari APBN dalam bentuk transfer ke desa, pemerintah pusat mewajibkan adanya mandatory spending pada APBDes sekurang-kurangnya 20% untuk penyelenggaraan layanan pendidikan di desa.
Mungkin terlihat janggal bagi masyarakat di luar desa, namun bagi warga di pedesaan sebenarnya ada ruang untuk memperjuangkan alokasi dana pendidikan di APBDes melalui musyawarah desa.
Anggaran 20% pendidikan pada APBDes adalah jumlah yang cukup signifikan untuk diperjuangkan dalam musyawarah desa.
Penggunaannya bisa diwujudkan dalam bentuk dukungan penyelenggaraan pendidikan formal maupun non formal.
Jika saat ini masyarakat desa belum melihat keberpihakan pemerintah desa dalam mendukung dunia pendidikan di wilayahnya, maka momentum saat ini adalah waktu yang tepat untuk ikut mendapatkan manfaat dari alokasi dana desa yang diterima oleh pemerintah desa masing-masing.(miq/miq)
Posting Komentar untuk "Anggaran Pendidikan Kok Bisa Menjadi Dana Desa?"