Satu sarung, dua jiwa. Dua keberanian, demi satu harga diri yang selalu dipegang teguh sejak nenek moyang.
Sigajang Laleng Lipa bukan sekadar adu badik, tapi adu prinsip dalam balutan adat.
Sering kita bertanya: siapa sebenarnya pemilik tradisi ini? Bugis kah? Makassar kah?
Sejarah mencatat, baik Bugis maupun Makassar adalah dua suku serumpun yang hidup berdampingan, saling memengaruhi, dan berbagi nilai yang sama—siri’, harga diri yang tidak bisa ditawar.
Tradisi Sigajang Laleng Lipa tumbuh di antara keduanya, seperti pohon besar yang akarnya menjalar ke dua tanah yang bersaudara.
Di tanah Bugis, siri’ dijaga dengan kesabaran dan kehormatan.
Di tanah Makassar, siri’ dijunjung dengan keberanian dan ketegasan.
Dan di titik persilangannya—lahirlah ritual yang menjadi simbol keberanian dan akhir dari sebuah perselisihan tanpa dendam: Sikajang Laleng Lipa.
Jadi, bukan soal siapa yang punya. Tapi soal bagaimana kita memaknai:
Bahwa ketika konflik harus berakhir, lebih baik dalam satu sarung daripada satu negeri terbakar.
Karena warisan sejati bukan pertarungan, tapi pelajaran.
Posting Komentar untuk "Bugis atau Makassar? Siapa Pemilik Sigajang Laleng Lipa?""