Jeneponto Media Duta,- Skandal hibah mencuat di tubuh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jeneponto.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya penyaluran dana hibah senilai Rp180 juta kepada 30 sanggar seni yang disebut-sebut tak memiliki dasar hukum yang jelas.
Setiap sanggar seni menerima Rp6 juta per tahun, dengan mekanisme Rp500 ribu per bulan. Hibah tersebut dicairkan melalui SP2D Nomor 70…/BPKAD/XII/2023 tanggal 20 Desember 2023 dan masuk ke rekening Bendahara Pengeluaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada 28 Desember 2023.
Namun, BPK menemukan sederet kejanggalan. Nama-nama sanggar seni penerima hibah tidak tercantum dalam Lampiran 3 Perda Nomor 22 Tahun 2022 tentang daftar penerima hibah. Selain itu, seluruh sanggar seni tidak terdaftar di Dinas PMPTSP maupun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta tidak memiliki badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM.Memang ada 12 sanggar seni yang memiliki akta notaris, tetapi sembilan di antaranya baru dibuat pada 2023 setelah PPTK memberi informasi terkait hibah. Dari 30 sanggar, hanya 14 yang mengajukan proposal, itupun bukan untuk biaya operasional Rp500 ribu per bulan sebagaimana dasar anggaran, melainkan untuk pembelian alat-alat dengan nilai Rp 6 juta.
Kejanggalan lain terungkap saat BPK menelusuri latar belakang penerima. Ternyata 10 pimpinan sanggar seni merupakan ASN, tujuh di antaranya pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, lima orang berstatus honorer, dan dua lainnya pensiunan ASN Pemkab Jeneponto.
Ironisnya, rekening penyaluran hibah baru dibuat mendekati pencairan. Sementara upaya konfirmasii kepada Plt Kepala Dinas Pendidikan Jeneponto yang dilayangkan media ini hingga berita ini diturunkan tidak mendapat jawaban.
Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Anti Korupsi (Pukat) Sulsel, Farid Mamma SH., MH, menilai kasus ini mengindikasikan lemahnya pengawasan dan potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan hibah.“Aturan jelas mengharuskan penerima hibah tercantum dalam APBD, berbadan hukum, serta memiliki proposal sesuai peruntukan. Kalau syarat itu tidak dipenuhi, maka pemberian hibah bisa dikategorikan maladministrasi bahkan penyalahgunaan anggaran,” tegas Farid.
Ia juga menyoroti modus yang kerap terjadi dalam praktik hibah daerah.
“Biasanya, hibah disamarkan lewat lembaga atau sanggar yang tidak jelas status hukumnya, atau menggunakan nama-nama ASN dan honorer sebagai penerima. Pola ini berulang, karena celah pengawasan yang lemah,” tambahnya.
Farid mendesak aparat penegak hukum segera turun tangan untuk menelusuri lebih jauh temuan BPK tersebut.
“Kalau dibiarkan, hibah seperti ini bisa jadi ladang bancakan. Negara dirugikan, publik kehilangan kepercayaan pada pemerintah daerah,” pungkasnya.
Laporan: Tim
Posting Komentar untuk "Dana Hibah Mengalir ke Sanggar Seni ‘Siluman""