Dijual cepat Rumah/tanah dengan seluas 336 M2 sertipikat Hak Milik Alamat Jalan Dr Ratulangi No. 3, E. Yang berminat dapat menghubungi Samsons Supeno HP 0812 5627 7440- 085 336 244 337 ttd Samson Supeno

Kenapa Presiden Harus Membeli Data dari Luar Negeri"


Catatan Agus M. Maksum Saya membaca berita itu sambil berhenti sejenak. Presiden Prabowo membeli data ekspor-impor dari luar negeri.

Beli Bukan minta, Sebagai orang yang lama berkecimpung dalam dunia digital, data platform, dan integrasi sistem, saya langsung merasakan sesuatu yang janggal.

Negara sebesar Indonesia-dengan puluhan kementerian, lembaga, server, pejabat, software, dashboard, dan proyek TI bernilai ratusan triliun-justru harus membeli data yang sebenarnya ada di dalam negeri.

Pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya sederhana:

Ada apa dengan data kita?

Saya sudah sering melihat bagaimana data di negeri ini bekerja.

Atau tepatnya: bagaimana data tidak bekerja.

Data kita seperti kain tambal sulam.

Ada di Kementerian A, sepotong.

Ada di Lembaga B, sepotong lagi.. Ada di BUMN, sepotong berikutnya.

Dan tiap potongan dijaga seperti mahkota.

Tidak ada yang mau disinkronkan.

Tidak ada yang mau disatukan. Dan kalaupun ada yang mencoba menyatukan -selalu kalah oleh ego sektoral.

Lalu Presiden Prabowo datang, meminta data ekspor-impor yang utuh.

Dan sistem kita tiba-tiba seperti kehilangan suara.

Datanya tidak lengkap,

Tidak sinkron Atau, lebih tepatnya: ada pihak yang tidak mau itu terlihat.

Akhirnya Presiden mengambil jalan pintas:

beli data dari luar negeri.

Cara itu memang aneh untuk negara seperti Indonesia.

Tapi bagi saya, itu cara paling logis. Karena data negara lain tidak punya kepentingan menutupi angka kita.

Kalau negara tujuan mencatat 100 kontainer, tapi catatan kita hanya 65 kontainer,

Anda tidak bisa lagi menyalahkan sistem down, komputer hang, atau server overheating. Yang hilang bukan datanya.

Yang hilang kontainernya.

Dan ketika data luar negeri itu dibuka, Mahfud MD tidak bisa menahan diri:

"Ketahuan siapa yang puluhan tahun makan uang negara."

Kalimat yang sederhana.

Tapi yang kena pasti tidak bisa tidur.

Saya bisa membayangkan wajah-wajah yang selama ini nyaman di balik angka gelap itu. Wajah yang hidup dari selisih data.

Selisih yang kecil bagi negara, tapi besar sekali bagi mereka yang setiap hari mengelolanya.

Tiba-tiba saya tersadar:

data ini seperti cahaya, Begitu dinyalakan, kecoaknya berhamburan. Pertanyaannya kembali ke akar, Kenapa negara harus membeli data dari luar negeri?

Jawabannya pahit-dan saya tahu jawabannya sejak lama: Karena data kita tidak pernah dikelola sebagai sistem nasional.

Karena tiap lembaga merasa database-nya adalah "wilayah kekuasaan".

Karena data tidak pernah dipadukan.

Karena terlalu banyak permainan di balik angka. Karena kebocoran itu sudah terjadi puluhan tahun.

Karena tidak ada satu pun mesin data pemerintah yang benar-benar terintegrasi.

Karena teknologi ada, tapi political will untuk menyatukannya tidak pernah benar-benar hadir.

Ironis.

Negara yang sedang bermimpi menjadi kekuatan digital dunia, justru harus membeli catatan transaksi sendiri dari negara lain.

Tapi kalau langkah itu bisa membuka kedok permainan lama, saya menganggap itu langkah paling berani yang diambil pemerintah dalam puluhan tahun terakhir.

Presiden Prabowo tidak sedang membeli data. Beliau sedang membeli kebenaran. Dan kebenaran itu kini mulai berbicara. Pelan-pelan Tapi pasti.(*)

Posting Komentar untuk "Kenapa Presiden Harus Membeli Data dari Luar Negeri""