Menguji Argumen Adian Napitupulu


1. Dimensi Hukum: UU Tidak Bisa Ditawar

Impor baju bekas sudah jelas dilarang oleh undang-undang.

Membela praktik ilegal dengan alasan sosial sama saja menormalisasi pelanggaran hukum.

Negara tidak bisa membiarkan “perut rakyat”

dijadikan alasan untuk menabrak aturan, karena itu membuka pintu bagi mafia impor dan praktik ilegal lain.

"Kalau perut bisa jadi alasan melanggar UU, besok pencuri bisa bilang 'saya lapar' lalu minta dilegalkan."

2. Dimensi Kesehatan: Risiko Nyata, Bukan Sekadar Mode

Pakaian bekas impor tidak steril, bisa membawa bakteri, jamur, bahkan penyakit menular.

Konsumen tidak tahu siapa pemakai sebelumnya, apakah sehat atau mengidap penyakit berbahaya.

Dalam skenario ekstrem, baju bekas bisa jadi media perang biologis: wabah diselundupkan lewat pakaian.

"Membela thrifting impor demi gengsi, sama saja membela kemungkinan wabah demi gaya."

3. Dimensi Ekonomi: UMKM dan Industri Lokal

Industri tekstil lokal menyerap jutaan tenaga kerja.

Membanjiri pasar dengan baju bekas impor murah menekan UMKM dan pabrik dalam negeri.

Pedagang thrifting bisa beralih ke produk lokal, karena pakaian murah berkualitas sudah banyak tersedia.

Punchline satir: “Membela thrifting impor demi

pedagang kecil, tapi melupakan jutaan pekerja tekstil yang bisa kehilangan pekerjaan.”

4. Dimensi Lingkungan: Argumen Hemat Air Tidak Logis

Air tidak musnah setelah dipakai produksi tekstil, hanya berubah kualitas.

Teknologi pengolahan limbah tekstil sudah ada, tinggal diwajibkan lewat regulasi ketat.

Kalau benar industri tekstil penyebab utama krisis air dunia, pasti sudah ada MoU internasional khusus memerangi tekstil, sebagaimana ada kesepakatan global soal iklim dan plastik. Faktanya, belum ada.

Jadi, argumen “thrifting menyelamatkan air” rapuh secara ilmiah.

“Air tidak hilang, hanya berubah status. Yang hilang justru logika kalau alasan hemat air dipakai untuk membenarkan impor ilegal."

5. Dimensi Sosial: Konsumen Tidak Akan Telanjang

Tanpa thrifting impor, konsumen tetap bisa berpakaian.

Yang hilang hanyalah gengsi merek luar, bukan kebutuhan dasar.

Mode hanyalah bumbu, bukan nasi. Tanpa tren tertentu, orang tetap berpakaian dengan alternatif lain.

"Kalau thrifting dilarang, rakyat tidak akan telanjang. Yang telanjang hanya gengsi."

6. Kesimpulan :

Argumen Adian Napitupulu kuat di sisi sosial- membela pedagang kecil dan tren anak muda- tetapi rapuh di sisi hukum, kesehatan, ekonomi, dan logika lingkungan.

 Membela thrifting impor sama saja membela pelanggaran hukum, risiko wabah, ancaman UMKM, dan logika lingkungan yang setengah matang.

“Negara melarang thrifting demi hukum, Adian membela thrifting demi perut. Tapi kalau perut jadi alasan melanggar UU, besok wabah bisa masuk lewat celana jeans bekas, dan siapa yang akan menanggungnya? Rakyat juga."(*)

Posting Komentar untuk "Menguji Argumen Adian Napitupulu"