Di antara reruntuhan longsor di Tapanuli Tengah, ada satu tangisan yang nyaris tak terdengar dunia.
Bukan karena suaranya lemah, tapi karena duka terlalu besar untuk ditangisi.
Namanya Jehan.
Seorang bayi laki-laki, baru berusia satu tahun. Usianya masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehilangan, namun takdir memaksanya belajar lebih cepat dari siapa pun.
Longsor yang terjadi di Desa Bonan Dolok, Simaninggir, telah merenggut segalanya darinya.
Ayah dan ibunya—dua pelukan yang seharusnya menjadi dunianya—tak lagi kembali. Dia sudah pergi tak akan kembali.
Hingga kini, jasad keduanya masih dalam pencarian, seolah bumi memeluk mereka terlalu erat. Lima Hari Tanpa Pelukan Ibu
Jehan bertahan.
Bukan di ranjang hangat, bukan di dada ibunya, melainkan di tengah duka dan keterbatasan.
Lima hari berlalu tanpa sentuhan ASI, tanpa dekapan ibu yang biasa menenangkannya. Di usia di mana tangis biasanya dibalas senyum, Jehan justru harus mengenal sepi.
Ia belum bisa bertanya, belum bisa mengeluh,belum bisa meminta kembali orang tuanya. Ia hanya bisa menangis—perlahan, lirih—di tengah puing yang menjadi saksi kehilangan.
๐คฒDoa untuk Jehan
Jehan hanyalah satu dari sekian banyak korban, namun di balik tubuh mungilnya tersimpan luka yang tak terlihat mata.
Ia tidak membutuhkan belas kasihan semata, tapi kasih sayang, perlindungan, dan masa depan. Mari kita titipkan Jehan dalam doa-doa terbaik.
Semoga ia tumbuh dengan kesehatan, kekuatan, dan cinta dari tangan-tangan yang kini menjaganya. Semoga orang tuanya segera ditemukan, agar Jehan tahu: ia pernah dicintai sepenuh hati.
Jangan biarkan tangisan sunyi ini tenggelam bersama puing.Karena setiap anak berhak tumbuh dengan harapan, bukan hanya kenangan.(*)

Posting Komentar untuk "Tangisan Sunyi di Tengah Puing, Kisah Kecil Jehan"