Bukti Kepemilikan Tanah Selain Sertifikat Yang Berlaku di Indonesia


Adakah bukti kepemilikan tanah selain sertifikat? Tentu saja ada, bila konteks pertanyaannya sebatas “bukti kepemilikan”.

Namun, bila konteks pertanyaannya adalah bukti kepemilikan yang memiliki kepastian hukum tetap, maka tidak ada jawaban selain sertifikat.

Tidak percaya? Tengok saja Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 Pasal 16.

Disebutkan bahwa hak atas tanah meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.

Bukti otentik hak-hak yang disebutkan di atas pun didokumentasikan ke dalam sertifikat resmi, yakni:

  • Sertifikat Hak Milik (SHM)
  • Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)
  • Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS).

Dari ketiga jenis sertifikat tersebut, SHM memiliki kedudukan hukum tertinggi.

Legitimasinya diejawantahkan dalam Pasal 20 ayat 1 UUPA.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa; “hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah”.

Maka itu, ketika hendak membeli tanah atau rumah dijual, pastikan legalitasnya berstatus hak milik. 

Jenis-Jenis Bukti Kepemilikan Tanah Selain Sertifikat

Namun, seperti telah disinggung di atas, selain sertifikat ada pula sejumlah dokumen yang bisa menjadi bukti kepemilikan tanah yang sah.

Hanya saja kedudukannya di mata hukum tidak setinggi SHM maupun SHGB.

Dokumen atau bukti kepemilikan tanah selain sertifikat itu ada banyak jenisnya, mulai dari girik hingga petok D.

Agar lebih jelas, berikut ulasan lengkapnya.

1. Girik

Girik

Foto: blitarportal.blogspot.com

Girik adalah surat tanah yang digunakan untuk keperluan perpajakan.

Hanya saja, surat ini sering dijadikan sebagai bukti kepemilikan atas tanah.

Tanah dengan surat tersebut, lazim dikenal dengan istilah tanah girik, atau tanah tanpa sertifikat resmi.

Tanah girik biasanya didapatkan secara turun-temurun atau warisan.

Namun, tidak sedikit pula yang diperoleh dari transaksi jual-beli.

Karena statusnya sebagai surat pertanahan untuk keperluan perpajakan, pemilik tanah ini tetap diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Contoh surat girik sendiri bisa dilihat pada gambar di atas.

2. Letter C

Letter C

Contoh gambar letter C desa: dusunluwung.blogspot.com

Letter C adalah dokumen tanah tradisional yang ada sejak zaman kolonial Belanda.

Dokumen ini dijadikan sebagai catatan perpajakan dan keterangan identitas atas tanah.

Letter C tanah dibuat oleh perangkat desa atau kelurahan setempat.

Statusnya sama dengan tanah girik, yaitu surat tanah jaman dulu

Namun, dokumen ini masih bisa digunakan sebagai bukti kepemilikan tanah dalam transaksi jual-beli.

Selain status hukumnya yang lemah, kekurangan lain dari letter C tanah adalah keterangan data yang dianggap kurang lengkap dan akurat.

Pasalnya, pemeriksaan surat ini cenderung dilakukan asal-asalan.

Surat keterangan kepemilikan tanah ini tidak diberikan langsung kepada masyarakat, karena statusnya sebagai catatan pertanahanan desa atau kelurahan. 

Karena itu, surat letter C asli atas tanah tersebut disimpan di kantor desa atau kelurahan setempat. 

Adapun yang diberikan kepada masyarakat atau pemilik tanah adalah kutipan dari surat letter C dengan bentuk surat girik. 

Baca juga:

5 Jenis Sertifikat Tanah yang Penting Diketahui sebelum Membeli Lahan

3. Petok D

Petok D

Contoh gambar petok D: lokadata.id

Surat keterangan kepemilikan tanah ini biasanya dibuat oleh kepala desa dan camat setempat.

Di masa lalu, tepatnya sebelum UUPA disahkan, petok D menjadi alat bukti kepemilikan tanah yang setara dengan sertifikat.

Karena itu, statusnya juga surat tanah jaman dulu.

Namun, setelah terbitnya UUPA, fungsi surat tanah tradisional ini berubah menjadi bukti pembayaran pajak tanah.

Adapun dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.2/1962, disebutkan;

“Petok D adalah bukti permulaan untuk mendapatkan tanda bukti hak atas tanah secara yuridis, yaitu sertifikat hak milik (SHM).”

Sekilas, petok D ini mirip dengan surat letter C, tetapi secara status dan fungsi kedua dokumen tersebut sejatinya berbeda. 

Perbedaan letter C dan petok D paling kentara bisa dilihat dari statusnya.

Letter C adalah buku register pertanahan, sementara petok D merupakan surat yang menunjukkan alas hak atas tanah tersebut.

Jika ingin melihat surat petok D asli, contohnya ada pada gambar di atas. 

4. Surat Hijau

Surat Hijau

Foto: Suara Surabaya

Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin asing dengan istilah ‘Surat Hijau’ atau ‘Surat Ijo’.

Maklum, karena surat ini sejatinya hanya berlaku di Kota Surabaya.

Surat Ijo adalah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan kepada orang yang menyewa lahan milik pemerintah kota.

Alasan dokumen ini dikenal sebagai “surat ijo” adalah karena blangko surat tersebut berwarna hijau.

Surat ijo dapat diperpanjang selama tanah yang disewakan tidak digunakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

5. Pipil Tanah

pipil tanah

Selain girik ataupun petok D, ada pula pipil yang dikenal sebagai surat tanah tradisional yang bisa dijadikan sebagai bukti kepemilikan tanah selain sertifikat. 

Sejatinya, Pipil tanah adalah Surat Tanda Pembayaran Pajak sebelum tahun 1960, atau sebelum terbitnya UUPA. 

Pipil tanah ini cukup populer di Bali, karena oleh masyarakat sekitar pipil dianggap sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah adat. 

Namun, sama halnya dengan girik maupun petok D, saat ini status pipil berubah jadi surat tanah tradisional informal yang harus dikonversi menjadi SHM atau SHGB.  

6. Rincik

surat rincik

Surat tanah tradisional lain yang dianggap sebagai tanda kepemilikan tanah adalah rincik. 

Rincik sejatinya merupakan Surat Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia yang ada sebelum tahun 1960. 

Surat tanah jaman dulu ini cukup populer di sejumlah daerah seperti Makassar, sebagai bukti penguasaan dan penggunaan tanah adat. 

7. Eigendom Verponding

Eigendom Verponding

Foto: jendela360.com

Pada zaman kolonial Belanda, hak kepemilikan atas tanah dikenal dengan istilah eigendom.

Hak tersebut dibedakan dalam dua jenis, yaitu eigendom biasa dan eigendom verponding.

Eigendom biasa adalah hak kepemilikan tanah yang diberikan kepada orang Eropa dan Timur Asing.

Adapun untuk orang pribumi, hak milik atas tanahnya berupa agrarische eigendom.

Eigendom verponding adalah hak kepemilikan tanah yang bisa dibuktikan dengan surat tagihan pajak.

Pasalnya, verponding adalah surat tagihan pajak tanah dan/atau bangunan pada zaman Hindia Belanda.

Verponding sejatinya masih digunakan hingga saat ini, tetapi berubah istilah menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).

Selain eigendom, ada pula beberapa hak kepemilikan tanah di zaman Belanda seperti grondkaart, erfpacht, opstaal, dan vruchtgebruik.

Meski berstatus produk lawas, nyatanya masih ada sejumlah perjanjian jual-beli tanah yang menggunakan eigendom sebagai bukti kepemilikan.

Namun, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, lahan dengan status eigendom bisa dikonversi ke SHM.

Hal tersebut dapat kita lakukan selama pemohon masih tercatat sebagai pemegang hak atas tanah dalam bukti-bukti lama tersebut.

Itulah jenis-jenis bukti kepemilikan tanah selain sertifikat yang wajib kita ketahui.

Bila kamu memiliki tanah dengan bukti kepemilikan tersebut, ada baiknya untuk segera melakukan konversi ke SHM agar legal secara hukum.

Punya pertanyaan seputar properti? Yuk, ngobrol bareng di Teras123!.

Posting Komentar untuk "Bukti Kepemilikan Tanah Selain Sertifikat Yang Berlaku di Indonesia"