Tidak Ada Negara yang Berpartner dengan China Menjadi Makmur

China Menjadi Makmur


Jakarta Media Duta, – Hubungan dagang dan investasi dengan Republik Rakyat Tiongkok kerap dilukiskan sebagai jalan pintas menuju kemakmuran. 

Berbagai kepala negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, menyambut tangan China dengan senyum dan karpet merah.

 Tapi sejarah dan kenyataan hari ini justru menunjukkan satu pola yang mencemaskan: tidak ada satu pun negara berkembang yang benar-benar makmur setelah menjalin kemitraan ekonomi strategis dengan China.

Lihat saja Sri Lanka. Negeri kecil di Samudra Hindia itu menjadi poster child kegagalan diplomasi utang dengan China.

 Ambisi membangun infrastruktur besar-besaran didanai pinjaman dari Beijing, termasuk megaproyek Pelabuhan Hambantota. 

Kini, pelabuhan itu bukan milik rakyat Sri Lanka, melainkan telah diserahkan ke perusahaan China untuk jangka waktu 99 tahun karena negara itu gagal membayar utangnya.

 Kedaulatan tergadaikan demi mimpi besar yang tak pernah membuahkan hasil nyata bagi rakyat.

Pakistan pun tak jauh berbeda. Proyek-proyek dalam skema China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) memang menyulap sebagian lanskap negeri itu dengan jalan dan pembangkit listrik, tapi utang luar negeri Pakistan melonjak drastis. 

Alih-alih menyejahterakan rakyat, proyek ini memperlebar kesenjangan ekonomi dan memicu kecemburuan sosial di berbagai wilayah. Kini, Pakistan terjerat ketergantungan pada Beijing, sementara kestabilan ekonominya tetap rapuh dan mudah terguncang.

Di Afrika, Ethiopia dan Zambia telah lama menjadi ‘pasien’ Beijing. Investasi China yang membanjir di sektor energi, jalan tol, dan telekomunikasi memang menciptakan pertumbuhan ekonomi semu, tetapi tak pernah bertransformasi menjadi pemerataan kesejahteraan. 

Justru, kontrol China atas sumber daya strategis di kedua negara itu mengukuhkan status mereka sebagai pemasok bahan mentah dan pasar barang jadi dari China—bukan mitra sejajar.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Di era Jokowi, relasi dengan China dirayakan sebagai tonggak transformasi. Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi monumen simbolik kemitraan ini. 

Namun biaya membengkak, ketergantungan teknologi, serta ketiadaan transfer ilmu menyiratkan satu hal: Indonesia menjadi pembeli mahal dari ambisi geopolitik China, bukan penerima manfaat sejati. 

Tak ada alih teknologi, tak ada penguatan kapasitas bangsa. Hanya tumpukan utang dan infrastruktur yang belum tentu menopang kesejahteraan jangka panjang.

Data Bank Dunia menunjukkan bahwa negara-negara yang menerima utang infrastruktur dari China cenderung mengalami tekanan fiskal tinggi. Pinjaman itu datang tanpa transparansi, dengan syarat yang sulit dinegosiasikan ulang.

 Kecenderungannya adalah: China memberi pinjaman, negara penerima membangun proyek mercusuar, lalu kesulitan bayar. Akhirnya aset strategis berpindah tangan, atau negara tersebut menjadi tergantung secara politik dan ekonomi.

Strategi ini dikenal sebagai debt-trap diplomacy—jebakan utang yang menyamar sebagai kerja sama pembangunan. Diplomasi ala Beijing bukan sekadar soal dagang dan investasi, tapi juga proyek hegemonik untuk mengikat negara-negara dunia ketiga dalam jaringan pengaruh yang sulit dilepaskan.

China memang makmur. Tapi kemitraan dengan China belum pernah membuat mitranya makmur. Ini bukan tentang rasisme atau fobia geopolitik, melainkan tentang realitas pahit dari relasi yang timpang. 

Ketika satu pihak datang dengan triliunan dolar tapi tanpa akuntabilitas, dan pihak lain menyambut dengan tangan terbuka namun tanpa kesiapan tata kelola yang kuat, yang terjadi bukan simbiosis mutualisme—melainkan kolonialisme gaya baru.

Maka pertanyaan mendesaknya adalah: sampai kapan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mau terus menjadi pion dalam papan catur Beijing?


Posting Komentar untuk "Tidak Ada Negara yang Berpartner dengan China Menjadi Makmur"