Jakarta Media Duta,- WACANA agar wakil presiden tidak lagi dipilih bersamaan dengan presiden dalam satu paket oleh rakyat, tetapi justru diusulkan oleh presiden terpilih dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), adalah langkah mundur dari demokrasi.
xxIni bukan hanya regresi politik, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap amanat reformasi dan pergeseran makna kedaulatan rakyat dalam sistem presidensial kita.
Gagasan ini, kendati muncul dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Jimly Asshiddiqie dan mendapat dukungan dari mantan Ketua MPR Bambang Soesatyo, perlu diuji secara konstitusional, historis, dan politis.
Ia tidak hanya berisiko mengaburkan arsitektur ketatanegaraan yang sudah dibangun selama lebih dari dua dekade terakhir, tetapi juga dapat menjadi pintu masuk bagi kompromi politik yang justru ingin diberantas oleh Reformasi 1998.
Rencana Anggaran Polri Naik, DPR Bandingkan Gaji Polisi Indonesia dengan Malaysia-Brunei Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
"Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.
Ketentuan-ketentuan ini merupakan hasil dari amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001, yang secara tegas mengakhiri praktik pemilihan presiden-wapres oleh MPR.
Perubahan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sebagai kristalisasi dari tuntutan rakyat akan sistem demokrasi langsung yang mengembalikan kedaulatan kepada pemilih, bukan pada elite lembaga.
Dalam sistem presidensial modern, legitimasi seorang presiden dan wakil presiden bersumber dari mandat elektoral yang sama, sebab keduanya adalah satu kesatuan jabatan.
Maka, membelah proses pemilihan ini bukan hanya melanggar semangat presidensialisme, tetapi juga menyulut disonansi antara eksekutif satu atap.
Presiden dan wakil presiden harus memiliki legitimasi politik yang setara, karena keduanya akan memimpin pemerintahan dalam situasi krusial, termasuk ketika salah satu harus menggantikan yang lain.
Jika Wapres tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan hanya “diberi” oleh presiden dan disahkan oleh MPR, maka legitimasi dan independensinya akan cacat secara konstitusional.
Argumentasi bahwa MPR perlu dilibatkan kembali dalam penetapan wakil presiden untuk “menghidupkan fungsinya sebagai lembaga integratif” adalah premis yang keliru. MPR dalam sistem konstitusi hasil amandemen bukan lagi lembaga tertinggi negara.
Ia bukan lembaga eksekutif dan tidak memiliki fungsi legislatif secara langsung. MPR kini hanyalah forum bersama antara DPR dan DPD, tanpa wewenang membuat undang-undang, dan hanya menjalankan fungsi tertentu:
melantik presiden-wakil presiden, memutus usul pemberhentian presiden, dan mengubah UUD. Kita tidak bisa menghidupkan peran MPR hanya dengan menambah-nambahi fungsinya tanpa konsistensi terhadap desain kelembagaan yang sudah dibangun dalam amandemen.
Menetapkan wakil presiden adalah fungsi eksekutif dan elektoral, bukan permusyawaratan kolektif.
Upaya mendorong MPR ke arah itu hanya akan membingungkan publik dan mencampuradukkan fungsi kekuasaan negara. Gagasan ini juga berpotensi membuka ruang kompromi politik yang lebih elitis dan tertutup.
Jika MPR diberi wewenang memilih atau menetapkan wakil presiden atas usul presiden, maka prosesnya nyaris pasti akan bergantung pada lobi antar-fraksi dan kepentingan kekuasaan.
Alih-alih menyederhanakan proses politik sebagaimana klaim para pengusungnya, mekanisme ini justru berisiko menjerumuskan kita ke dalam praktik “dagang sapi” yang hendak dikikis oleh demokrasi langsung.
Kebutuhan akan kompatibilitas antara presiden dan wapres memang penting, tapi bukan berarti solusinya dengan menghapus peran rakyat dalam memilih wakilnya. Justru tantangannya adalah memperbaiki sistem koalisi dan rekrutmen politik, bukan mencabut hak pilih publik.
Konstitusi tak boleh dijahit sesuai selera Konstitusi bukanlah pakaian elastis yang bisa dijahit ulang sesuai dengan tren politik sesaat.
Ia adalah kontrak sosial yang harus dibangun atas dasar kepercayaan publik dan prinsip demokrasi yang substansial. Jika kita mengubah konstitusi hanya karena merasa “repot” dengan proses elektoral, maka sejatinya kita sedang mencabut akar dari demokrasi itu sendiri.
Poin yang lebih mengkhawatirkan adalah kecenderungan sebagian pihak untuk membuka kembali kotak amandemen dengan berbagai justifikasi—dari wacana PPHN, penguatan DPD, hingga pengusulan wapres oleh presiden.
Jika pintu ini dibiarkan terbuka tanpa arah dan pengaman, kita bisa kehilangan banyak hal yang sudah kita bangun sejak 1998. Kita harus jujur kepada sejarah. Sistem pemilihan wapres oleh MPR telah berlangsung selama 50 tahun sejak 1945, dan hasilnya tidak selalu demokratis.
Wapres kadang dipilih karena kompromi elite, kadang karena tekanan kekuasaan. Bahkan, beberapa kali posisi wapres kosong bertahun-tahun karena MPR tidak kunjung menetapkannya. Reformasi membalik semua itu.
Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 (kini UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu), pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu paket diatur untuk memastikan kesinambungan mandat, efisiensi sistem, serta mencegah konflik kewenangan di lingkaran eksekutif.
Kita sering terjebak dalam romantisme lembaga. Gagasan “menghidupkan kembali peran MPR” bisa tampak mulia, namun ia juga berpotensi menjadi ilusi institusional.
Jika ada masalah dalam sistem pemilu, maka yang harus dibenahi adalah partainya, sistem pencalonannya, mekanisme debat publik, hingga pengawasan pemilu. Bukan dengan memotong-motong hak rakyat dan menyerahkannya kembali ke ruang-ruang politik tertutup.
Demokrasi Indonesia hari ini memang belum sempurna. Namun, menyerah pada kesulitan dan mereduksi hak rakyat bukanlah solusi. Menyerahkan penentuan wakil presiden kepada MPR adalah jalan mundur, dan bukan bagian dari reformasi.
Justru, tugas kita hari ini adalah mengukuhkan mandat rakyat, memperbaiki sistem pemilihan langsung, dan memastikan bahwa lembaga-lembaga demokrasi bekerja sesuai dengan rohnya.
Jika kita mulai melemahkan demokrasi demi efisiensi atau harmoni semu, maka kita sedang menggadaikan masa depan konstitusi kita hanya untuk kenyamanan sesaat para elite.
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyatakan: "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.
Ketentuan ini merupakan hasil dari amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001, yang secara tegas mengakhiri praktik pemilihan presiden-wapres oleh MPR.
Perubahan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sebagai kristalisasi dari tuntutan rakyat akan sistem demokrasi langsung yang mengembalikan kedaulatan kepada pemilih, bukan pada elite lembaga.
Dalam sistem presidensial modern, legitimasi seorang presiden dan wakil presiden bersumber dari mandat elektoral yang sama, sebab keduanya adalah satu kesatuan jabatan.
Maka, membelah proses pemilihan ini bukan hanya melanggar semangat presidensialisme, tetapi juga menyulut disonansi antara eksekutif satu atap.
Presiden dan wakil presiden harus memiliki legitimasi politik yang setara, karena keduanya akan memimpin pemerintahan dalam situasi krusial, termasuk ketika salah satu harus menggantikan yang lain.
Jika Wapres tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan hanya “diberi” oleh presiden dan disahkan oleh MPR, maka legitimasi dan independensinya akan cacat secara konstitusional.
Argumentasi bahwa MPR perlu dilibatkan kembali dalam penetapan wakil presiden untuk “menghidupkan fungsinya sebagai lembaga integratif” adalah premis yang keliru.
MPR dalam sistem konstitusi hasil amandemen bukan lagi lembaga tertinggi negara. Ia bukan lembaga eksekutif dan tidak memiliki fungsi legislatif secara langsung.
MPR kini hanyalah forum bersama antara DPR dan DPD, tanpa wewenang membuat undang-undang, dan hanya menjalankan fungsi tertentu: melantik presiden-wakil presiden, memutus usul pemberhentian presiden, dan mengubah UUD.
Kita tidak bisa menghidupkan peran MPR hanya dengan menambah-nambahi fungsinya tanpa konsistensi terhadap desain kelembagaan yang sudah dibangun dalam amandemen.
Menetapkan wakil presiden adalah fungsi eksekutif dan elektoral, bukan permusyawaratan kolektif. Upaya mendorong MPR ke arah itu hanya akan membingungkan publik dan mencampuradukkan fungsi kekuasaan negara.
Gagasan ini juga berpotensi membuka ruang kompromi politik yang lebih elitis dan tertutup. Jika MPR diberi wewenang memilih atau menetapkan wakil presiden atas usul presiden
Maka prosesnya nyaris pasti akan bergantung pada lobi antar-fraksi dan kepentingan kekuasaan. Alih-alih menyederhanakan proses politik sebagaimana klaim para pengusungnya.
Mekanisme ini justru berisiko menjerumuskan kita ke dalam praktik “dagang sapi” yang hendak dikikis oleh demokrasi langsung.(*)
Posting Komentar untuk "Wakil Presiden Dipilih MPR: Mundur dari Demokrasi "