Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia), Rabu (30/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 79/PUU-XVIII/2020 ini digelar secara virtual.
Permohonan ini diajukan Joshua Michael Djami, karyawan perusahaan finance dengan jabatan Kolektor Internal yang telah memiliki sertifikasi profesi di bidang penagihan.
Materi yang diuji Pemohon yakni Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia. Sedangkan pasal batu uji yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia menyebutkan, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyebutkan, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan ‘kekuatan eksekutorial’ adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
”Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Almas Rioga Pratama selaku kuasa hukum Pemohon menilai ketentuan eksekusi fidusia yang diatur Pasal 15 UU Jaminan Fidusia sebagaimana berlaku saat ini, telah mengakibatkan tiadanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal ini disebabkan adanya kedudukan yang lebih berat pada satu pihak, dimana kreditur harus membawa perkara ini ke pengadilan, sementara debitur tidak harus membawa perkara ini ke pengadilan,” ujar Almas Rioga dalam persidangan sebagaimana dikutip laman MK. (Baca Juga: MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Kreditur)
Menurut dia, ketentuan eksekusi fidusia bertentangan dengan prinsip negara hukum karena memberi celah bagi debitur untuk mengulur waktu melarikan barang, sehingga memberi ruang terjadinya kejahatan. Selain itu, keberlakuannya saat ini telah menghancurkan lahan profesi (collector dan financing) yang legal dan diakui oleh MK sendiri dalam Putusan MK No. 19/PUU-XVIII/2020. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan dan penghidupan yang layak bagi Pemohon.
Bagi Pemohon, ketidakseimbangan hak yang menjadi berat ke debitur karena dalam perjanjian dituliskan syarat wanprestasi debitur tetap bisa mengelak dengan mengatakan tiada syarat wanprestasi, sehingga harus dibuktikan ke pengadilan. Akibatnya, kreditur yang beritikad baik yang sudah sesuai prosedur tetap saja terjegal dan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil.
Lebih lanjut, dia menilai pemaknaan frasa “sukarela saat eksekusi" dalam Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 bertentangan dengan prinsip negara hukum yang seharusnya menjamin aturan yang mencegah terjadinya potensi kejahatan. Apabila debitur beritikad baik, debitur harusnya minta restrukturisasi, bukannya justru tidak sukarela menyerahkan barangnya.
Atas dasar alasan itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Selain itu, menyatakan frasa “keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia” tidak dimaknai “sukarela saat mendatangani perjanjian fidusia.”
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Enny Nurbaningsih menyarakan Pemohon untuk mempertegas kerugian konstitusionalnya. “Perlu kemudian dipertegas hak apa sebetulnya yang diberikan oleh konstitusi, yang kemudian menurut anggapan Pemohon hak itu dilanggar atau terciderai. Itu yang belum muncul di sini,” ujar Enny.
Anggota Majelis Panel, Manahan MP Sitompul menyarankan Pemohon untuk memperjelas norma yang diujikan. Sedangkan Anggota Majelis lain, Arief Hidayat meminta Pemohon untuk memperkuat legal standing. "Anda harus memperkuat betul legal standing.
Ini lebih diperkuat kalau ada perusahaan finance yang mau ikut dalam permohonan ini. Tapi perusahaan finance ini pun harus menunjukkan ada situasi kondisi yang luar biasa yang menyebabkan Mahkamah harus 'bergeser', itu masukan dalam posita ya,” kata Arief.
Sebelumnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, MK memutuskan sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta (otomatis) memiliki kekuatan eksekutorial.
Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
Dalam amar Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 disebutkan “Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap’ inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia.
Maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Putusan MK itu intinya memberi tafsir Pasal 15 ayat (1-3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait cidera janji (wanprestasi) dalam eksekusi jaminan fidusia. Awalnya, pasal itu ditafsirkan jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji, penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang) seperti halnya putusan pengadilan yang inkracht.
Kini, sertifikat jaminan fidusia, yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak lagi otomatis memiliki kekuatan eksekutorial. Dalam putusan itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur. Jika tidak terjadi kesepakatan, salah satu pihak dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan ke pengadilan untuk menentukan/memutuskan apakah benar telah terjadinya cidera janji?
Posting Komentar untuk "Dirugikan Putusan MK, Debt Collector Uji Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia"