Perempuan Bugis Beribadah Dengan Cara Tak Biasa

Prof. Dr. Hannani (Rektor IAIN Parepare)

Di kampung-kampung Bugis, setiap tanggal 10 Muharram, pasar berubah menjadi tempat yang lebih dari sekadar transaksi. Ia menjadi ruang ziarah harapan terutama bagi para perempuan. Mereka datang membawa catatan kecil, uang secukupnya, dan niat besar:

 membeli alat dapur baru. Ada baskom, sendok, sapu, panci, gelas, hingga saringan. Barang-barang yang dalam keseharian tampak biasa, namun di hari Asyura, berubah menjadi simbol spiritual.

Tradisi ini dikenal secara turun-temurun dan tak tertulis, namun tetap hidup dalam kesadaran kolektif. 

Ia bukanlah perintah agama yang wajib, bukan pula adat yang dilafalkan dengan mantra. Namun justru karena ia diam-diam dijalankan, tanpa pamrih dan ramai, ia menjadi ritus sunyi yang suci.

Mappasagena: Bukan Sekadar Bersih, Tapi Suci

Kata “mappasagena” dalam bahasa Bugis berarti membersihkan diri, baik secara lahir maupun batin. Dalam konteks dapur, ia bukan hanya menyapu lantai atau mencuci piring. 

Ia adalah proses merapikan ruang hidup agar layak menjadi tempat turunnya berkah.

Perempuan Bugis memulai mappasagena bukan dengan air doa, tapi dengan alat dapur baru. Karena bagi mereka, tempat memasak adalah tempat menanak rezeki, dan tempat menyajikan makanan adalah tempat menebar cinta. 

Maka jika alatnya bersih, hatinya pun bersih. Bila dapurnya rapi, jiwanya pun tertata.

Barang-Barang yang Dibeli dan Hikmahnya

Apa saja yang mereka beli di hari Asyura? Dan mengapa?

1. Baskom – Tempat mencuci, tempat menampung. Simbol kesiapan menerima berkah.

2. Panci dan Wajan – Alat memasak utama. Melambangkan proses hidup yang penuh ujian, tapi akan matang dengan sabar.

3. Sendok dan Garpu – Alat menyuap rezeki. Simbol rezeki yang bersih dan halal.

4. Sapu – Untuk membersihkan rumah. Menghapus kesialan, menyambut kebaikan.

5. Pisau dan Talenan – Ketajaman dalam memilih, tempat menata ulang hidup.

6. Gelas dan Teko – Simbol keramahan, kesejukan, dan keterbukaan.

7. Saringan – Untuk menyaring yang baik dari yang buruk. Lambang kebijaksanaan.

8. Tutup saji – Melindungi nikmat yang telah ada. Waspada terhadap gangguan.

9. Centong dan Sutil – Alat membagi. Simbol keadilan dan keikhlasan dalam berbagi.

10. Wadah Beras – Lambang kecukupan. Supaya dapur tak pernah kosong.

11. Stoples Bumbu – Penataan rasa. Hidup yang tertata, tak hambar.

12. Dandang Besar – Kesiapan menampung rezeki besar dan tanggung jawab besar.

13. Lap Dapur – Kesungguhan dalam menjaga kebersihan dan detail kehidupan.

14. Wadah Air Minum – Simbol kehidupan yang tak putus. Harapan akan kesegaran iman.

15. Rak Gantung atau Lemari Kecil – Keteraturan. Hidup yang rapi, membuka jalan keberkahan.

Perempuan dan Dapur: Imam Sunyi dalam Rumah

Tradisi ini bukan sekadar “belanja.” Ia adalah doa yang dikerjakan dengan tangan. Perempuan Bugis yang mendatangi pasar di hari Asyura sesungguhnya sedang melakukan ibadah dalam bentuk yang paling sederhana dan paling dalam: 

menjaga dapur tetap berasap, menjaga nasi tetap mengepul, menjaga anak-anak tetap kenyang, dan menjaga suami tetap pulang.

Mereka tidak menghafal ayat dalam kitab, tapi mereka tahu bahwa Tuhan juga hadir di antara uap nasi dan suara sendok di pagi hari. Mereka tidak membangun masjid, tapi mereka menjaga mihrab dapur tetap bersih dan suci.

Kesadaran Budaya yang Melebur dengan Iman

Tradisi mappasagena di hari Asyura adalah bukti bahwa budaya dan agama tidak selalu bertentangan. Ia adalah bentuk tau sipulung (kesadaran bersama) bahwa kehidupan harus dijaga dari dua sisi: yang tampak dan yang tersembunyi.

Seperti kata orang tua Bugis:

Kalau Asyura tidak balanja sapu dan sendok, berarti rumahmu tidak siap disapu rejeki.”

Sebuah ungkapan sederhana, namun menyimpan kebijaksanaan lokal yang dalam. Karena rezeki bukan hanya tentang uang dan harta, tapi juga tentang siapa yang memasak, dengan apa dimasak, dan untuk siapa disajikan.

Menanak Doa di Tanggal Sepuluh

Di hari Asyura, orang-orang sibuk mencari pahala lewat puasa dan doa. Tapi di rumah-rumah Bugis, ada perempuan yang juga beribadah dengan caranya sendiri: mengelap panci baru, menyusun gelas di rak, menyapu dapur yang akan menjadi tempat rezeki singgah.

Di sanalah mappasagena benar-benar terjadi.

Bukan hanya membersihkan debu, tapi juga membenahi hidup.

Bukan hanya menanak nasi, tapi juga menanak doa.

Posting Komentar untuk "Perempuan Bugis Beribadah Dengan Cara Tak Biasa"